ASI Eksklusif Hingga Bayi Enam Bulan

"Coba yang ini saja Bu, kandungannya lengkap, ada AA dan DHA untuk perkembangan otak, 15 vitamin dan mineral, serta FOS yang berguna membantu pencernaan. Rasanya juga disesuaikan dengan bayi ibu yang baru mau belajar makan makanan padat. Dapat ibu lihat di label, cocok untuk bayi usia 4 bulan ke atas," ujar seorang SPG (sales promotion girl) pada seorang ibu di counter susu dan makanan bayi sebuah supermarket.

ASI Eksklusif  Hingga Bayi Enam Bulan


Sembari membacakan label yang tertera pada sebuah kardus biskuit bayi, SPG tersebut terus memberikan keterangan mengenai keunggulan produk yang ditawarkannya, berusaha menggaet calon konsumennya. Si calon konsumen, Yanti, seorang ibu muda dari seorang bayi mungil berusia empat bulan, tampak memerhatikan keterangan SPG dengan serius. Sesekali ia bertanya kepada SPG mengenai produk yang akan dibelinya. Akhirnya, dua kotak biskuit bayi masuk ke keranjang belanjanya.

Pemandangan semacam itu dapat dengan mudah dijumpai di berbagai sentra penjualan susu dan makanan bayi. Si konsumen, ibu tadi, tidak menyadari telah melakukan sebuah kekeliruan dalam menangani tumbuh kembang anaknya. Bayinya yang berusia empat bulan semestinya masih dalam program ASI (air susu ibu) eksklusif. Sebuah program terbaik untuk tumbuh kembang seorang bayi, yakni hanya memberikan ASI saja hingga bayi berusia enam bulan.

Namun, kekeliruan Yanti tidak semata-mata karena kesalahannya, bisa dikatakan ia adalah korban dari 'kenakalan' produsen makanan pendamping ASI. Pada kardus biskuit bayi yang ia beli tertera tulisan 'untuk usia 4 bulan ke atas'. Sebuah tulisan yang semestinya tidak tertera karena menyesatkan konsumen. Semestinya, mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 450/2004, bayi harus diberi ASI saja hingga usia enam bulan, bukan empat bulan.

Berbagai penelitian telah membuktikan berbagai keunggulan tak terbantahkan mengenai manfaat pemberian ASI eksklusif selama enam bulan. Mulai dari pertumbuhan fisik yang sempurna, perkembangan kecerdasan yang pesat, hingga kematangan emosional seorang anak, terpacu berkat ASI eksklusif enam bulan.

Sayangnya, peraturan tinggal peraturan. Produsen susu dan makanan pendamping ASI yang semestinya turut berperan serta dalam program yang notabene bisa menyehatkan generasi penerus, justru banyak yang melakukan penyimpangan. Pencantuman label 'untuk bayi usia empat bulan ke atas' adalah salah satu contohnya.

Pada pertemuan di 'Executive Forum' yang diadakan Media Indonesia di Jakarta beberapa waktu lalu, terungkap bahwa mayoritas produsen susu dan makanan pendamping ASI memang belum semuanya mengacu pada peraturan mengenai ASI eksklusif enam bulan. ''Hal tersebut terjadi karena peraturan. Sebagian besar produsen masih berpegang pada peraturan lama saat batasan ASI eksklusif adalah empat bulan. Dan hingga saat ini izin yang mereka pegang masih berlaku, jadi belum ada pembaharuan, tidak ada sanksi tegas terhadap hal ini,'' ujar Sekretaris Ikatan Produsen Susu (IPS), Syahlan Siregar, dalam forum tersebut.

Pencantuman label 'untuk bayi usia 4 bulan ke atas', hanyalah salah satu contoh dari berbagai tindakan produsen susu yang tidak mendukung program ASI eksklusif enam bulan. Seperti diungkapkan dr Nurcholish Madjid, M.Kes dari Program Appropriate Technology in Health (PATH), dari penelitian yang diselenggarakan lembaganya diketahui berbagai 'kenakalan' produsen susu formula dan makanan pendamping bayi. ''Di antaranya, melakukan promosi dalam berbagai bentuk kepada sarana kesehatan serta tenaga kesehatan, baik dokter maupun bidan, untuk turut serta memasarkan produk mereka. Ada yang diberi insentif bulanan hingga ada yang disponsori untuk naik haji,'' ujar dr Nurcholish yang bersama lembaganya melakukan penelitian tentang perilaku pemberian ASI pada masyarakat di daerah Cirebon, Cianjur, Kediri, dan Blitar pada tahun 2003.

Diakui Syahlan, perilaku-perilaku tersebut memang kerap terjadi. Satu hal yang menjadi penyebabnya adalah lemahnya peraturan. Padahal, menurutnya, produsen IPS yang beranggotakan sembilan produsen di antaranya Nestle dan Frissian Flag, bisa dipastikan akan mematuhi semua peraturan yang memiliki kejelasan di sisi materi maupun sanksinya.

Mengenai peraturan mengenai ASI eksklusif, diakui salah satu anggota Komisi IX DPR RI Tuti Indarsih Lukman, saat ini memang mendesak untuk diberlakukan dan meliputi berbagai kalangan. Pasalnya, produsen susu formula dan makanan pendamping ASI bukanlah satu-satunya penyebab sulitnya menjalankan program ASI eksklusif. Beberapa hal lain seperti peraturan ketenagakerjaan mengenai cuti melahirkan dan keberadaan ruang ASI di tempat kerja, serta juga perlu dibuatkan aturan agar mendukung program ASI eksklusif enam bulan tersebut.

Pihak DPR, lanjut Tuti, yang saat ini tengah melakukan pembahasan tentang perubahan UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, juga akan berusaha memasukkan masalah ASI dalam perubahannya. ''Kami juga memantau pihak-pihak terkait seperti Departemen Kesehatan, BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) serta BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) agar membuat program dan peraturan yang mendukung ASI eksklusif,'' ujar Tuti.

Dengan peraturan dan sanksi yang tegas serta program-program mendukung, diharapkan angka pemberian ASI dapat ditingkatkan dari kondisi sekarang. Menurut hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003, didapati data jumlah pemberian ASI eksklusif pada bayi di bawah usia dua bulan hanya mencakup 64% dari total bayi yang ada. Persentase tersebut menurun seiring dengan bertambahnya usia bayi. Yakni, 46% pada bayi usia 2-3 bulan dan 14% pada bayi usia 4-5%. Yang lebih memprihatinkan, 13% bayi di bawah dua bulan telah diberi susu formula dan satu dari tiga bayi usia 2-3 bulan telah diberi makanan tambahan. (Nik/H-4)  Media Indonesia Online

Posting Komentar

2 Komentar